Jumat, 24 April 2015

Pentingnya Berkata dan Berbuat Jujur

Oleh: Zainal Abidin Ridwan

Di sebuah kampung bernama Aruhu, Sinjai, hiduplah seorang Ibu bersama dua orang anak laki-lakinya. Si Ibu membesarkan sendiri kedua anaknya setelah ditinggal mati sang suami. Dia tidak pernah mengeluh sedikitpun, meski saban hari melewatkan sebagian besar waktunya menjaga padi di sawah, dan mengayun kedua anaknya di lego-lego atau teras rumah panggung miliknya. Lagu yabelale dipilihnya untuk meninabobokkan kedua putranya.

Yabelale,,,
atinrono ana', utojakko
wakke longatokko
yabe lale anakku,,

tappodo maloppoko malampe sunge'mu
muruntu decengnge
musappa dallemu
yabelale anakku, muarekka deceng

ikomitu ana' uonro maddenuang
bara' mupaitangnga
cenning lunra'na lino
yabelale anakku”.

Yabelale menjadi pengantar tidur kedua putranya, hingga dia menyaksikan keduanya telah tumbuh menjadi anak yang perkasa. Meski bahagia melihat pertumbuhan keduanya, Si ibu kerap diliputi kegelisahan. Ini karena kedua anaknya : La Keteng dan La Upe' memiliki sifat serta tabiat yang berbeda.

La Keteng, orangnya pemalas, mau menang sendiri, dan suka berbohong. Sementara La Upe', penurut, rajin dan suka menolong. Hanya La Upe' yang sering membantu Ibunya menanam padi di sawah, serta menjaganya dari dongi'-dongi' saat padinya mulai menguning.

La Keteng, bantulah saudaramu di sawah. Kasian dia sendirian disana menghalau dongi'-dongi'” kata si Ibu kepada La Keteng.
Malas, Indo'!” jawab La Keteng, lalu mengambil bantal dan memilih tidur di teras rumah.
Setiap kali diminta ke sawah untuk membantu saudaranya, jawaban La Keteng hanya malas, capek, atau mengantuk. Itulah yang membuat hati sang ibu gelisah. Kalau sudah begitu, terkadang La Upe' hanya digantikan ibunya menjaga padi-padinya dari incaran dongi'-dongi'.

Istirahatlah anakku. Pulanglah ke rumah, kau sudah kelihatan capek. Biar ibu yang menggantikanmu disini menghalau dongi'-dongi'”. Kata sang Ibu saat menemui anaknya, La Upe' di rumah-rumah sawah
Indo' khan lagi sakit. Kenapa bukan La Keteng saja yang Indo' suruh menggantikan saya!?”
yah.. itulah saudaramu. Setiap kali saya suruh, jawabannya selalu tidak bisa atau malas. Dia sekarang di rumah dan hanya tidur-tiduran di teras”.
kalau begitu, biarlah saya temani Indo' disini. Saya juga khan bisa tidur dan beristirahat disamping Indo'” pinta La Upe' kepada ibunya.

Jumat, 10 April 2015

TEKNOLOGI PINTAR ITU BERNAMA HONDA

Tahun 1995. Saat itu, saya masih duduk di bangku kelas dua sekolah Menengah Atas (SMA). Tepatnya di SMA Negeri 1 Sinjai Utara. Saat itu masih bisa dihitung jari yang menggunakan kendaraan roda dua alias motor ke sekolah. Entah itu adik kelas maupun kakak kelas. Saya merasa berbangga karena dari yang sedikit itu, saya salah satunya yang berkesempatan menggunakan motor ke sekolah.

Honda Astra Grand Impressa. Demikian nama "tunggangan" saya. Awalnya Ayah saya membeli motor itu karena tertarik menyaksikan iklan Honda Astrea Grand Impressa di layar Televisi. Iklan dengan tagline "ampe ngacir" yang diperankan Mandra, bintang sinetron Si Doel Anak Betawi ini ternyata sukses memikat perhatian Ayah saya. Saat itu saya sampai berpikir bahwa Ayah saya hanya menjadi korban iklan. Pada banyak kasus, iklan produk hanya unggul di televisi, namun saat produknya digunakan hasilnya justru berbeda dan mengecewakan konsumen. Saya pun berpikir seperti itu ketika Ayah saya memutuskan membeli Honda Impressa.

"Kamu boleh menggunakan motor ini ke sekolah". Begitu ucap Ayah saya ketika memarkir motor Honda Astrea Grand Impressa yang baru dibelinya,sepekan setelah menyaksikan iklannya di layar televisi. Perasaan senang bercampur ragu ketika Ayah menawari saya mencoba akselerasi motor "ampe ngacir" ini. Senang karena bakalan menunggangi motor ke sekolah, namun sedikit ragu akan performanya. "akan kah sehebat kata Mandra di iklannya ?".

Sempurna. Begitu kesan pertama saya ketika menjajal akselerasi dan performa Grand Impressa besutan Honda Astra ini. Ternyata, Mandra benar adanya. Tapi lebih benar dan hebat lagi teknologi yang diusung dan dibenamkan oleh Honda pada motor Impressa-nya. Saat pertama kali mencoba motor ini, tarikannya begitu kuat. Beban mesinnya juga sangat ringan sehingga mendukung performanya saat menjajal jalan raya.

Yang lebih hebat lagi dan sangat membantu saya meminimalkan pengeluaran adalah penggunaan bahan bakarnya yang super irit. Kadang apabila mengisi motor “Mandra” saya dengan seliter premium, saya sudah bisa memakainya ke sekolah selama lima hari. Nah, ini juga menjadi kabar gembira bagi saya dan tentu bagi anda pecinta motor merk Honda. Kabarnya motor produk Honda di tahun 2015 ini akan lebih hemat bahan bakar, terutama pada produk motor matik-nya. Hal ini karena Honda mengusung teknologi eSP atau Enhanced Smart Power. Dengan eSP, motor lebih ramah lingkungan, hemat bahan bakar, serta menghasilkan performa yang lebih tinggi.

Kembali bernostalgia dengan Impressa. Terkait beban mesin yang ringan, saya sempat menanyakan kepada salah satu kawan yang juga mekanik motor. Menurutnya, salah satu kelebihan motor Honda terletak pada oli mesinnya. Oli bawaan Honda katanya sudah dirancang untuk memaksimalkan fungsi dan kerja mesin motor honda tanpa dibebani dengan berat mesin yang akan berpengaruh pada stabilitas motor.

Entah benar atau tidak penjelasan kawan saya itu, yang jelas setiap ganti oli dibengkel, selalu saya disodori oli merek federal. Kata penjualnya, oli itu cocoknya untuk motor Honda. Kebiasaan menggunakan oli berlabel federal berlanjut ketika ayah memutuskan mengganti Impressa-nya menjadi Honda Astrea Legenda. Meski beda nama (Impressa dan Legenda, Honda tetaplah Honda. Teknologi pintar yang diusungnya sudah terlanjur memuaskan konsumennya. Termasuk saya dan mungkin anda pembaca setia blog saya.

Eits.. hampir lupa. Selama delapan tahun menggeber Honda Astrea Impressa, terhitung hanya empat kali kami mengganti busi. Irit khan !?. Selain itu, kelebihan lain yang dimiliki produk motor keluaran Honda adalah kemudahan melakukan servis berkala. Hal ini ditunjang dengan keberadaan bengkel resmi Honda yang sudah lama berdiri di daerah saya.

Kamis, 22 Januari 2015

Pengembaraan Sembilan Bersaudara

Oleh : Zainal Abidin Ridwan

Disebuah puncak bukit, hiduplah Sembilan bersaudara. Delapan diantaranya adalah laki-laki dan seorang perempuan. Sejak kecil mereka sudah ditempa dan dibekali pendidikan agama oleh kedua orangtuanya. Namun, kesedihan mendalam dirasakan sembilan bersaudara ini saat beranjak dewasa. Mereka harus berpisah dengan kedua orang tuanya dengan cara tak lazim.

Ketika itu, sembilan bersaudara ini dikejutkan dengan suara berdesing dan rumahnya tiba-tiba dipenuhi cahaya terang benderang. Kedua orang tuanya tidak terlihat. Yang ada hanyalah dua berkas cahaya yang tiba-tiba mengeluarkan suara. “Kami sudah mendidikmu sejak kecil. Mudah-mudahan kalian menjadi manusia yang taat beribadah dan berguna bagi orang lain,” kata suara yang bersumber dari cahaya tersebut. “Namun, agar berguna bagi orang lain, kalian tidak boleh tinggal disini bersama-sama. Kalian harus berpisah,”.

Seketika, kedua cahaya itupun menghilang. Sembilan bersaudara ini yakin, kedua cahaya tadi adalah orang tua mereka. Sembilan bersaudara inipun dihadapkan pada pilihan yang sulit. Namun, mereka harus taat dan berbakti kepada kedua orang tua Perintah untuk berpisah pun terpaksa dilakukan.
Mereka membagi diri ke Sembilan penjuru mata angin. Cucuran air mata mengiringi perpisahan mereka. Pengembaraan untuk membaktikan diri kepada masyarakat wajib mereka lakukan, sesuai petunjuk kedua orang tua yang sudah mendidiknya sejak kecil.

Dalam pengembaraannya yang memakan waktu bertahun-tahun ini, mereka berhasil membuka lahan di daerah yang dilewatinya serta mengajarkan ilmunya kepada masyarakat. Anak pertama sukses membuka lahan pertanian di daerah yang kemudian diberi nama Batangase. Dia juga mengajarkan ilmu bercocok tanam kepada warga.

Anak kedua pun berhasil melakukan hal yang sama, dengan menjadikan lahan tidur di daerah selatan menjadi kebun nangka yang sangat subur. Anak kedua ini kemudian memberikan nama lahan tersebut dengan nama Ale'nangka. Anak ketiga lebih hebat lagi. Dia mampu merubah sebuah batu kerikil menjadi Biji Nangka, dan menebarkan biji tersebut ke lahan kering yang dilewati saat dia mengembara. Jadilah daerah ini menjadi daerah yang subur dan kaya dengan buah nangka.

Teluk Bone. Tampak dari puncak Pulau Kambuno, Kec. Pulau Sembilan, Kab. Sinjai
Selama mengembara, anak keempat dan kelima juga memanfaatkannya dengan membantu masyarakat yang kesulitan. Anak keempat berhasil menjadi ulama besar di sebuah daerah yang berada di wilayah Barat, dan mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat setempat. Sementara anak Kelima juga melakukan hal yang sama dalam pengembaraannya di wilayah Utara. Anak kelima ini mampu menyulap lahan yang dipenuhi balang atau lumpur pohon nipa, menjadi sebuah perkampungan dan mendirikan masjid diatasnya.

Di wilayah Tengah dan Timur, juga tersiar kabar daerah tersebut menjadi subur dan makmur. Anak keenam yang membuka lahan perkebunan di wilayah Tengah, berhasil diikuti warga setempat. Bahkan mereka menggantungkan hidupnya dari hasil perkebunan. Sementara anak Ketujuh yang mengembara ke wilayah Timur, berhasil membuat perahu untuk warga. Perahu inilah yang dipakai masyarakat setempat mencari ikan di sungai, guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

Meski seorang perempuan, namun anak Kedelapan ternyata memiliki ilmu yang tidak kalah hebat dengan saudara-saudaranya. Bahkan dalam pengembaraannya disebuah bukit bernama Karampulue, anak kedelapan ini berhasil membuka lahan pertanian yang jumlahnya sangat banyak. Dia pun membagikan lahan pertanian ini kepada masyarakat untuk dikelola. Saat masyarakat masih butuh bimbingannya, anak kedelapan ini tiba-tiba menghilang dan hanya meninggalkan berkas cahaya. Kejadiannya sama ketika kedua orangtuanya juga menghilang.

Kemudian anak Kesembilan atau si bungsu, justru mengembara ke tempat yang lebih jauh dan harus melawan derasnya ombak. Meski hanya menggunakan sebatang tongkat kayu, anak kesembilan ini bisa sampai disebuah pulau bernama Burungloe.

Namun pulau ini ternyata tidak berpenghuni. Untuk mengusir rasa sepinya, anak Kesembilan ini pergi ke pinggir pantai dan memukulkan tongkatnya sebanyak sembilan kali. Pukulan tongkat sebanyak sembilan kali ini dilakukan, dengan harapan dia memiliki jodoh bertemu lagi dengan saudara-saudaranya yang lain.

Setelah memukulkan tongkatnya sebanyak sembilan kali, anak kesembilan inipun menghilang. Konon, pukulan tongkat inilah yang membentuk sumur-sumur kecil yang airnya tawar, dan dikenal warga pulau Burungloe di Sinjai sebagai sumur jodoh. (Sinjai, 11/5/2013)