Kamis, 31 Juli 2014

Maaf Lahir Batin

Mewakili teman-teman Komunitas Blogger Sinjai (KBS), mengucapkan Selamat hari raya Idul Fitri 1435 H. Jika dalam tulisan atau postingan kami ada yang kurang berkenan, mohon kiranya dimaafkan. Mohon maaf lahir dan batin.

Komunitas Blogger Sinjai @tamanpurbakalabatupake gojeng

Selasa, 22 Juli 2014

Pada Akhirnya: rakyat-lah yang menang

Beberapa saat yang lalu, tepatnya tanggal 22 Juli 2014, pukul 22.00 Wita, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 dengan pemilik suara terbanyak yakni pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Saya lebih sreg menggunakan kalimat "pemilik suara terbanyak" dan menghindari kalimat "dengan pemenang". Hal ini karena esensi dari demokrasi itu sendiri sebenarnya adalah kemenangan rakyat, bukan kemenangan capres-cawapres.

Rakyat berarti segala-galanya bagi negara. Penguasa/Presiden hanyalah merupakan segelintir manusia yang diberi kepercayaan untuk mengurus administrasi, keamanan, dan pelaksanaan pemerintahan negara (Said, 1998). Konsep tersebut sejalan dengan konsep demokrasi yang dianut saat ini yang mana kedaulatan ada di tangan rakyat.

Dalam lontarak bugis pun demikian. Konsep-konsep tentang demokrasi juga tertuang, seperti dalam ungkapan "naia riasengnge maradeka, tellumi passaleng, iyanaritu: Makaseddinna, tenrilawai ri olona. Maduanna, tenriangkai’ riada-adanna. Matellunna, tenri atteanngi lao ma-niang, lao manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao ri awa. (Yang disebut merdeka (bebas) hanya tiga hal yang menentukannya: pertama, tidak dihalangi kehendaknya; kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat; ketiga tidak dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas dan ke bawah. Itulah hak-hak kebebasan.)

Sementara dalam sastra Bugis juga ada ungkapan sebagai berikut:Rusa taro arung, tenrusa taro ade, Rusa taro ade, tenrusa taro anang, Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega. (Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat, Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan orang banyak).Disini jelas tergambar bahwa kedudukan rakyat amat besar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Jadi, kepada Presiden dan wakil Presiden Indonesia terpilih untuk periode 2014-2019, saya menitip pesan dengan mengutip ungkapan dalam lontarak Bugis,"Aja’ mugaukengngi padammu tau ri gau’ tessitinajae. (Jangan engkau melakukan sesuatu yang tidak patut terhadap sesamamu). Memimpin-lah dengan jujur, amanah dan konsisten. Selamatkan Indonesia dari bencana kemiskinan, agar negara yang kita cintai ini menjadi Indonesia Hebat.

@zainalabidinku

Senin, 07 Juli 2014

Rindu Bermain Meriam Bambu

Saya teringat ketika masih duduk di bangku sekolah Dasar (SD). Saat bulan ramadhan tiba, saya bersama teman-teman sekolah paling rajin mencari bambu yang ukurannya agak besar. Di kampung saya, Sinjai, bambu besar ini dinamakan; Pettung. Sambut bulan suci ramadhan dengan mencari bambu ? yah.. itulah saya dan teman-teman sebaya. Namanya juga anak-anak. Bambu ini kami potong sehingga ukurannya tersisa 1,5 meter. Kemudian kami lubangi sisi dalamnya menggunakan linggis. Ini supaya semua lubangnya terhubung.

Bukan itu saja, saya dan teman-teman juga membuat lubang kecil dengan diameter lima sentimeter pada salah satu sisi bambu pettung itu. Anggaplah lubang kecil adalah lubang tangki untuk mengisi bahan bakar mobil/motor.

Kalau sudah dibuat sedemikian rupa, saya dan teman-teman membawa bambu tersebut ke pematang sawah yang jaraknya hanya sekira 70 meter dari rumah saya. Disana, bambu pettung tersebut kami buatkan dudukan. Dudukannya sederhana. Hanya 3 buah batu bata.

Meriam bambu. Yah.. namanya meriam bambu; benda yang kami rakit tadi. Cara kerjanya sederhana. Isi "tangki" bambu tadi dengan minyak tanah secukupnya. Kemudian sulutlah dengan api pada lubang kecil yang berfungsi sebagai tangki minyak tadi. Hasilnya, pasti terdengar letupan mirip meriam. Besar-kecilnya bunyi letupan tergantung dari ukuran bambu. Semakin besar diameter bambu, maka semakin besar pula letupannya. Begitu pula sebaliknya. 

Bermain Meriam Bambu (foto : int)
Setiap menjelang waktu berbuka puasa, kami selalu ke pematang sawah dan membunyikan meriam bambu ini. Suaranya terdengar seantero kampung. Itulah alasan saya dan teman-teman menyimpannya di pematang sawah: gema-nya lebih terasa. Kami selalu membunyikannya menjelang buka puasa dengan harapan agar warga kampung yang masih tertidur pulas, bisa bangun dan menyiapkan menu berbuka.

Namun paling sering kami membunyikan meriam bambu ini menjelang jadwal sahur. Warga dikampung juga senang kalau kami membunyikannya menjelang sahur. Katanya mereka sangat terbantu dan bisa bangun lebih awal setelah mendengar letupan meriam bambu.

Selain meriam bambu, alat yang digunakan untuk membangunkan warga di kampung saya juga mengandalkan panggilan sahur dari petugas masjid, tentu saja menggunakan speaker masjid ber-merk Toa.

Sekarang di kampung saya tak terdengar lagi suara letupan meriam bambu saat bulan Ramadhan tiba. Gema letupannya tak terdengar lagi menjelang buka puasa maupun sahur. Anak-anak di kampung saya kini lebih suka bermain petasan dan mercon.

Mainnya pun tak mengenal waktu. Kadang siang hari, namun paling sering malam hari. Tempat bermain petasan juga berbeda-beda. Kadang saya melihat anak tetangga saya memainkannya di halaman rumah. Namun saya melihat anak-anak lebih banyak memainkannya di halaman masjid ketika menjelang shalat Tarwih. Bahkan saat shalat pun suaranya masih terdengar dan menjadi-jadi. Kadang ada seloroh dan nada jengkel dari jamaah masjid seusai shalat. Mereka mengaku sangat terganggu suara petasan dan mercon. "Na ganggu skali ki' saat shalat," Kata salah satu jamaah masjid dengan logat Bugis-nya yang kental.

Saya membandingkan ketika zaman saya dulu bermain meriam bambu. Tujuannya hanya untuk membangunkan warga kampung bersantap atau makan sahur. Kalau bermain petasan yang mengeluarkan kembang api yang dilakukan anak tetangga saya, justru saya melihatnya tidak lebih dari kesenangan semata. Senang melihat kembang apinya dan gembira mendengar letupannya.

Saya rindu bermain meriam bambu. Saya rindu melihat anak-anak sekarang melakukan hal yang sama dengan yang kami lakukan dulu: membangunkan warga untuk sahur. Bukan mengagetkan jamaah masjid yang khusyu melaksanakan ibadah Shalat.

Saya rindu pematang sawah dimana berjejeran meriam bambu. Meletupkannya dan disambut gembira warga kampung. Meriam bambu kami saat itu sukses menjadi "mesin pengingat". Namun sekarang, terganti dengan mesin pengingat lain: alarm telepon selular.

@Biringere Sinjai, 7 Juli 2014