Jumat, 26 September 2014

Selamatkan Lumbung Demokrasi


Ketika sebagian besar anggota DPR kita yang (konon) terhormat itu menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah (Pilkada) dilakukan secara tidak langsung atau melalui DPRD, maka mereka sama saja membakar lumbung yang berisi demokrasi di negara kita.

Lumbung demokrasi di Indonesia sebenarnya tidak rusak atau merusak seperti yang diasumsikan sebagian besar anggota DPR kita yang (konon) terhormat itu. Tidak perlu lumbung itu “dibakar” karena beberapa isinya masih bisa diselamatkan dan diperbaiki.

Bila dikatakan bahwa pilkada langsung menimbulkan biaya tinggi, maka cari solusinya agar biayanya bisa ditekan dan tidak memberatkan calon kepala daerah yang akan bertarung. Bila dikatakan pilkada langsung membebani anggaran negara, maka cari solusinya. Melalui E-Voting, misalnya. Bila dikatakan bahwa pilkada langsung akan melahirkan kepala daerah yang korup, maka cari solusinya. Partai politik tidak membebani calon kepala daerah dengan biaya pendaftaran yang memberatkan, misalnya.

Selalu ada solusi dari setiap permasalahan yang ada. Tidak mesti digeneralisasi kejadian atau dampak pilkada langsung yang sebenarnya hanya kasuistis. Menetapkan pelaksanaan pilkada melalui DPRD sama saja mengebiri hak rakyat dalam memilih pemimpinnya. Sebagian besar anggota DPR yang (konon) terhormat itu telah menunjukkan betapa mereka lebih mengedepankan syahwat politik, ketimbang memperbaiki kualitas demokrasi di negara kita.

“Kalau hama tikus merusak gabah/padi yang ada di lumbung, maka jangan bakar lumbungnya. Cari hama tikusnya dan musnahkan”. Pilkada melalui DPRD bukan solusi mengatasi biaya mahal pilkada, mencegah korupsi kepala daerah, atau solusi atas silang sengketa antar pendukung calon kepala daerah. Semua itu hanya-lah “hama” yang sebenarnya bisa ditekan atau dimusnahkan. Masih banyak elemen penting yang tersimpan dalam lumbung demokrasi itu yang harus dijaga dan ditingkatkan kualitasnya, namun tentu saja dengan tetap mempertahankan: PILKADA LANGSUNG. 

Kamis, 18 September 2014

Pasar Politik dan Peran Media


Pada konstitusi liberal, masyarakat bebas diartikan sebagai individu yang memiliki kebebasan, menghargai hak azasi manusia, menjamin kepemilikian pribadi dan mengontrol kekuasaan negara. Lebih jauh lagi, masyarakat bebas memiliki akses yang bebas menuju berbagai pasar yang didasarkan pada prinsip kompetisi.

Bila disederhanakan, maka terdapat tiga tipe pasar utama: 1. Pasar Politik, 2. Pasar Sosial, dan 3. Pasar ekonomi (Rainer Adam, 2000). Kalau dalam pasar ekonomi ada transaksi barang dan jasa, dalam pasar sosial diperdagangkan barang non ekonomis seperti persahabatan, kesetiaan, kepercayaan dan sebagainya. Sementara dalam pasar politik hanya ada satu yang diperdagangkan yakni kekuasaan.

Masyarakat yang pasar politiknya didasarkan pada kompetisi yang jujur ada di alam bernama demokrasi. indikatornya adalah lapangan yang menjadi tempat akses masuk dan keluar ke pasar politik yang terbuka. Di lapangan itu setiap warga negara memiliki kebebasan untuk berpartisipasi dalam proses: memilih wakil mereka dan atau dipilih sebagai wakil rakyat.

Untuk memilih dan dipilih, warga negara membutuhkan fasilitator dan katalisator untuk mempercepat akses informasi yang mereka dan rakyat butuhkan. Salah satunya adalah media atau pers. Fungsi media di alam demokrasi saat ini sangatlah penting. Media melaporkan fakta, memberi informasi, mendidik publik, menyampaikan dan membentuk opini. Media juga menjadi alat untuk "mengontrol" pemerintah, polisi dan TNI, serta semua pelaku politik maupun partai politik. Saat ini media menjadi faktor sentral dalam membentuk opini publik. Sehingga wajar apabila politisi seperti kontestan pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden baru-baru ini, Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta, menggelontorkan dana yang cukup besar hanya untuk meraih simpati masyarakat melalui iklan capres di media, (data alokasi iklan capres bisa dilihat di: www.iklancapres.org).

Sumber foto : screenshot, www.iklancapres.org
Hanya saja, perlu ada regulasi yang mengatur besaran alokasi anggaran yang dikucurkan calon Presiden dan wakil presiden maupun waktu penyiaran/penayangan iklan-iklan tersebut di media cetak maupun elektronik. Regulasi dibutuhkan dengan alasan, 1. Capres-Cawapres yang memiliki dana lebih tentu akan tampil mendominasi halaman dan slot acara di media cetak dan elektronik, 2. Capres-Cawapres yang memiliki dana lebih tentu iklannya memiliki frekuensi tayang lebih banyak ketimbang calon lain yang dananya terbatas, serta 3. Dominannya iklan Capres-Cawapres di media cetak maupun elektronik akan memangkas halaman atau program acara media yang seharusnya berisi tayangan berita dan informasi yang dibutuhkan masyarakat.

Selain alasan diatas, Iklan capres yang marak dan nyaris mengisi seluruh halaman di media cetak maupun program acara di televisi dan radio, memang harus dibatasi karena kontennya kurang memberikan nilai mendidik untuk masyarakat. Ada kecenderungan iklan-iklan tersebut terlalu menyederhanakan topik, personalisasi dan emosional. Kecenderungan lain adalah, bahasa yang digunakan bias, simbolis serta mengandung sedikit informasi. Padahal Informasi yang beragam dan mendidik sangat dibutuhkan masyarakat sebagai "penguasa" ranah publik.

Hans Juergen Beerfeltz dalam bukunya, kasta yang terabaikan, mengatakan bahwa apapun sistem politiknya dan sejauh mana peran medianya, yang harus dihindari adalah kebiasaan yang tidak bermanfaat dalam sebuah negara demokrasi, yaitu: rakyat mengeluh kinerja politisi, politisi mengeluh tentang rakyat, keduanya mencaci media dan media mencaci semuanya. Kita tentu berharap, di iklim demokratisasi saat ini semua berjalan saling mendukung, terarah dan mengikuti rambu-rambu yang ada, termasuk apabila nantinya regulasi yang mengatur alokasi anggaran iklan Capres berhasil diwujudkan.


Selasa, 16 September 2014

Karena Kami Kelompok Komunitas

"Komunitas bukan tempat berebut proyek pemerintah.
Komunitas bukan ajang klaim lahan kegiatan yang berujung pada saling sikut. Disini adalah tempat sharing pendapat dan informasi. Komunitas adalah tempat kita berbagi ilmu dan wawasan. Komunitas adalah wadah menyelesaikan persoalan negeri ini. Komunitas bisa eksis dan besar karena kita semua menyisihkan sebagian pendapatan dari gaji atau upah kerja yang kita peroleh. Sebagian untuk keluarga dan sebagian lagi untuk komunitas,"


Inilah petikan ungkapan saya ketika didaulat memberikan sambutan dalam kapasitas sebagai pembina Kelompok Pengguna Linux Indonesia (KPLI) Sinjai, pada pembukaan Indonesia Linux Conference (ILC) 2014 di gedung wisma Hawai Sinjai, 13 September 2014. Terkesan emosional dan penuh semangat memang. Namun itulah fakta bahwa ajang tahunan para aktivis dan penggiat Linux serta Open Source ini selalu dibumbui dengan semangat pantang menyerah para pelaksana kegiatannya. Betapa tidak, untuk melaksanakan even nasional sekelas ILC, panitia pelaksana mesti "berdarah-darah". Salah satunya adalah mencari sponsor untuk mendanai kegiatan.

Meski kegiatannya berbau teknologi informasi, namun ternyata tidak mudah mendanai kegiatan ILC. Sistem operasi Linux yang dikembangkan oleh komunitas dan bukan oleh vendor atau perusahaan-perusahaan besar, menjadi salah satu alasan sehingga kegiatan ILC kadang sulit mendapatkan donatur tetap. Sebagian besar sumber pendanaannya justru berasal dari sumbangan pribadi dari mereka para penggiat dan aktivis linux.

Dengan kondisi seperti itu, menyerahkah komunitas Linux ?. Tidak. Justru kondisi faktual seperti ini dijadikan semangat atau motivasi untuk berbuat lebih baik. Faktanya, ILC selalu terlaksana bahkan dari segi kualitas lebih berbobot dibanding even lain yang memiliki sumber dana tetap.

Saya mengambil contoh ILC di Sinjai. Kegiatan Pra ILC dan ILC berjalan sesuai rencana atau rundown yang disusun teman-teman panitia. Pra ILC yang bertempat di Aula Dinas Kominfobudpar serta Rumah Kopi Carita, diisi dengan materi firefox OS dan mozilla web maker. ILC dengan ragam materi dari narasumber yang berbobot juga berhasil dilaksanakan di gedung wisma Hawai serta aula dinas Kominfobudpar. Begitupula dengan KPLI meeting di kec. Pulau Sembilan. Sumber dana ? tentu saja diperoleh dengan cara-cara ala komunitas.

Sepekan sebelum acara puncak ILC 2014, teman-teman panitia masih berjuang mencari dana dengan cara menjual stiker dan baju di kantor-kantor pemerintah. Begitupula sumbangan dana dari panitia dan teman-teman aktivis linux juga digalang. Untuk publikasi acara, panitia sedikit berlega hati dan agak berkurang bebannya karena beberapa pihak menyumbang material publikasi seperti backdrop, baju panitia serta spanduk. 

Ini hanya sekelumit cerita dari komunitas yang bernama KPLI. Mungkin masih ada cerita menarik dari komunitas lainnya di negeri ini. Yang pasti, kita akan dihadapkan pada sejumlah tantangan saat bergiat di komunitas. Menantang tapi bermanfaat dikemudian hari. Ini karena Komunitas adalah tempat menambah pundi-pundi pertemanan, mencari pengalaman serta belajar ber-organisasi. Komunitas menjadi tempat  memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi orang lain. Dan..... melalui komunitas, kita ber-kontribusi membangun negeri ini. (*)




     

     

Sabtu, 06 September 2014

Melestarikan Local Wisdom Di Era Digital

Di dalam buku tulisan kluckhohn berjudul Universal Categories Of Culture ( 1953 ), membahas kerangka-kerangka kebudayaan yang kemudian dijadikan kerangka umum. Berdasarkan itu pulalah Koentjaraningrat memaparkan 7 ( tujuh ) unsur kebudayaan, diantaranya (1) sistem religi yang meliputi sistem kepercayaan, nilai dan pandangan hidup serta komunikasi keagamaan dan upacara keagamaan, (2) sistem kemasyarakatan yang meliputi kekerabatan dan sistem kenegaraan, (3) sistem pengetahuan yang meliputi pengetahuan tentang flora dan fauna, waktu, ruang, bilangan dan perilaku manusia. (4) Bahasa yaitu alat berbentuk komunikasi, baik lisan maupun tulisan, (5) kesenian meliputi seni pahat, relief, vokal, musik dan kesusastraan, (6) sistem ekonomi yang meliputi berburu, bercocok tanam, peternakan (7) sistem peralatan hidup yang meliputi tempat berlindung, perumahan, pakaian dan peralatan konsumsi.
Ketujuh unsur kebudayaan yang dikelompokkan Koentjaraningrat ini, kadang disederhanakan dengan istilah: kearifan lokal atau local wisdom. Kearifan lokal adalah nilai-nilai yang berlangsung turun temurun atau men-tradisi dikalangan masyarakat sebagai akibat dari adanya interaksi atau hubungan antara manusia dengan lingkungannya. 
 
Seluruh daerah di Indonesia mempunyai kebudayaan, dan kearifan lokal-nya masing-masing. Seperti contoh di Bali dengan tradisi Ngaben-nya, Bau Nyale atau berburu cacing laut di Lombok NTB, Rambu Solo di Tana Toraja serta tradisi pesta panen Mappogau Hanua di Karampuang, Desa Tompobulu, Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai. Ketiga contoh tradisi budaya tersebut bisa terlaksana dan bertahan hingga saat ini karena adanya nilai kebersamaan dan interaksi yang terjalin sesama pendukung kebudayaan ini.

Di Karampuang, Sinjai misalnya. Kendati hanyalah sebuah dusun kecil dengan jumlah penduduk sekira 400 jiwa lebih, namun kekayaan seni dan budaya yang mereka miliki masih terjaga dari generasi ke generasi. Pranata atau sistem norma dan aturan-aturan khusus di dalam kampung tradisional Karampuang, juga sangat majemuk. Bukan hanya pranata tidak tertulis ( hukum adat ) yang dimiliki karampuang, namun pranata dalam bentuk tulisan juga bisa kita jumpai.

Dalam kawasan adat karampuang, unsur kebudayaan sistem religi dapat kita saksikan pada acara ritual adat yang tetap berlangsung intensif dengan memanfaatkan benda-benda megalit dan merupakan bukti kuat betapa penganut kepercayaan kepada leluhurnya begitu kuat. Bahkan sebagian besar tingkah laku, pola hidup dan pola pikirannya tetap berhubungan dengan leluhurnya. Ritual adat ini dapat kita saksikan saat pelaksanaan pesta adat Mappugau Hanua atau pesta kampung, yang dilaksanakan setiap bulan Oktober atau Nopember tahun berjalan. 

Ribuan orang menghadiri pesta adat Mappugau Hanua
Perangkat-perangkat adat Karampuang berhubungan dengan leluhurnya melalui ritual suci yang dilakukan pada setiap tradisi Mappogau Hanua digelar. Namun bagi anggota masyarakat yang bermukim diluar kawasan adat, perangkat adat Karampuang memberikan kesempatan kepada mereka untuk terlibat dan menyaksikan.

Dari Batu Gong ke Handphone
Pada zaman dahulu, perangkat adat atau tetua adat Karampuang memiliki cara tersendiri ketika Mappogau Hanua akan digelar. Untuk terhubung dengan warga pendukung adat Karampuang yang bermukim agak jauh dari kawasan adat, maka tetua adat yakni Sanro menggunakan media berupa batu besar. Batu ini dinamakan: Batu Gong. Dinamakan seperti itu karena memang bunyinya seperti gong ketika dipukul oleh Sanro. Batu gong tersebut masih dapat kita saksikan hingga saat ini.

Sekilas bila melihat Batu Gong, tidak ada bedanya dengan batu biasa. Namun kedalaman ilmu yang dimiliki oleh Sanro, membuat batu yang terlihat biasa tersebut bunyinya seperti gong dan bisa didengar oleh warga pendukung adat Karampuang meski bermukim agak jauh dari kawasan adat.
Perangkat Adat Karampuang Saat Memukul Batu Gong

Dengan Batu Gong, perangkat-perangkat adat Karampuang mampu ter-koneksi atau berhubungan dengan dunia luar atau ber-interaksi dengan masyarakat lain saat pesta adat Mappogau Hanua digelar. Dengan Batu Gong, masyarakat adat Karampuang memberi kesempatan masyarakat pendukung tradisi ini menyaksikan kearifan lokal yang mereka lakukan selama pesta adat Mappogau Hanua. 
 
Dalam konteks kekinian, tentu lahir pertanyaan: masih-kah tradisi dan kearifan lokal di kampung bernama Karampuang tetap terjaga ?. Jawabannya: Ya. Mappogau Hanua atau pesta kampung yang dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah di kampung Karampuang, adalah salah satu tradisi tahunan di Sulawesi Selatan yang tetap konsisten dilaksanakan oleh masyarakat adat Karampuang.

Sedikit-pun tidak terjadi pergeseran atau perubahan pada tahapan-tahapan pelaksanaan pesta adatnya. Begitu pula 2 (dua) rumah adat-nya yang masih berdiri kokoh hingga saat ini dan menjadi pusat aktivitas perangkat serta tetua adat-nya. Yang mengalami perubahan hanyalah pada media komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan pelaksanaan Mappogau Hanua. 

Bila pada zaman dahulu Batu Gong menjadi satu-satunya alat bagi perangkat adat untuk mengundang dan memberi informasi terkait pelaksanaan pesta adat, maka di era digital saat ini, semua perangkat teknologi informasi dan komunikasi dijadikan media penyampai atau penyambung informasi. Misalnya saja penggunaan telepon seluler atau handphone. Pemanfaatannya tentu saja bukan oleh tetua adat (yang memang berpantang menggunakan teknologi). Namun oleh generasi-generasi muda-nya yang merupakan keturunan dari pendukung kebudayaan di Karampuang.

Generasi muda, keturunan dari pendukung adat Karampuang inilah yang memanfaatkan perangkat-perangkat teknologi untuk berhubungan satu sama lain. Bukan hanya handphone atau smartphone, media sosial pun mereka gunakan untuk sekadar menyampaikan pesan kepada kerabat mereka yang sudah ada di rantau bahwa pesta adat akan segera digelar. Wajar: karena mereka hidup di zaman digital.

Mengundang warga dengan batu gong, menyambut tamu dengan bebunyian gendang dan tumbukan lesung atau Mappadekko, mengolah hasil panen untuk dinikmati seluruh warga kampung, hingga ritual ke makam leluhur mereka di bukit Karampuang: adalah tahapan-tahapan dari tradisi ini yang tetap terjaga dan tidak tergerus oleh zaman digital. Mereka saling terhubung atau berinteraksi dengan cara yang sudah men-tradisi. Generasi mereka yang hidup di zaman digital juga menggunakan cara mereka sendiri: ala dunia digital. Semua saling mendukung demi terawat dan lestari-nya kearifan lokal di Karampuang.

Kearifan Lokal Di Trans Studio Makassar
Menjaga dan merawat kearifan lokal masyarakat Sulawesi Selatan bukan hanya melalui tradisi atau ritual adatnya yang dilaksanakan secara konsisten. Namun bagaimana merawat kearifan lokal ini dengan cara-cara yang sesuai dengan kondisi saat ini. Seperti handphone untuk menyampaikan pesan dan informasi, maupun media sosial untuk mempromosikan kekhasan budaya daerah.

Cara lain adalah memanfaatkan ruang-ruang publik dan hiburan yang jamak kita temukan saat ini. Seperti di pusat-pusat perbelanjaan atau Mall serta wahana bermain indoor maupun outdoor yang banyak terdapat di kota-kota besar.
Saya ambil contoh di Trans Studio Mall dan Theme Park Makassar . Sebagai salah satu kawasan dan wahana permainan terbesar di Indonesia, tentu menjadi peluang yang harus dimanfaatkan guna mengangkat serta mempromosikan potensi dan kearifan lokal daerah. 

Trans Studio Mall dan Theme Park Makassar saat ini bukan lagi sekadar Mall dan wahana bermain. Namun telah menjelma menjadi lokasi atau tempat dimana orang saling terhubung satu sama lain meski harus melewati tantangan di wahana bernama The Lost City, saling berinteraksi satu sama lain di Magic Corner, lucu-lucu-an di Kids studio, atau menjelajah bersama di Studio Central.

Semua bisa kita dapatkan di Trans Studio Mall dan Theme Park Makassar. Wahana bermain, keceriaan bersama keluarga dan kerabat, hingga bertemu dan bernostalgia dengan teman lama. Namun untuk merawat dan menjaga kearifan lokal maupun tradisi lokal daerah, terbersit harapan besar adanya wahana bermain di Trans Studio Mall dan Theme Park Makassar bernama Bugis Room, Toraja Room, Mandar Room, Makassar Room, yang isinya adalah wahana permainan tradisional seperti Longga'-Longga' atau Enggrang, Maggalaceng, Maccangke dan Allogo. Begitupula permainan Ma'binta atau lompat karet, Mangngasing, serta Ma'baguli atau main kelereng. Bahkan di kawasan bermain tersebut bisa dimunculkan literatur berupa teks dan foto, yang isinya memuat tradisi-tradisi budaya yang ada di Sulawesi Selatan. Bermain, belajar dan melestarikan kearifan lokal Sulawesi Selatan di Trans Studio Mall dan Theme Park Makassar: semoga. (*)