Kamis, 13 November 2014

Musyawarah Untuk Mufakat


Dalam Al-Qur'an Surat Ali Imran Ayat 159 disebutkan, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.

Pada ayat ini terdapat satu kata yakni bermusyawarahlah. Hal ini menguatkan fakta bahwa Allah SWT memang mengharuskan umat manusia mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan suatu perkara.

*********
Tentu kita tidak ingin kembali ke masa kelam saat pemerintahan Orde Baru, dimana warga dibatasi dan diawasi ketika berpendapat maupun berekspresi. Semua pendapat yang nuansanya menyoroti kinerja pemerintahan orde baru, maka harus siap-siap menghuni “hotel prodeo”. Begitu pula media massa, harus berhadapan dengan kenyataan: medianya dibredel alias dilarang terbit. Sementara itu, musyawarah untuk mencapai mufakat hanya jargon semata di masa keemasan Orde Baru.

Nah, diera yang katanya sudah reformasi ini, regulasi yang ada membuka kran kebebasan berpendapat dan berekspresi. Setiap warga negara bebas berpendapat dan mengkritisi setiap persoalan yang dianggap tidak berpihak kepada diri pribadi maupun masyarakat. Media massa juga tumbuh dan berkembang bak cendawan di musim hujan.

Kendati demikian, ada tradisi dan semangat yang tetap hilang di masyarakat kita: Musyawarah mufakat. Saat ini kita semakin sulit menemukan kebiasaan musyawarah untuk mencapai mufakat. Padahal ciri dari era reformasi itu sendiri adalah kebebasan mengeluarkan pendapat, yang salah satunya dilakukan melalui wadah bernama musyawarah mufakat.

Lihat saja di media cetak dan televisi pasca pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dimenangkan Jokowi-Jusuf Kalla. Nyaris kita tidak lagi melihat para wakil-wakil rakyat di parlemen melakukan musyawarah ketika ada persoalan. Mereka bahkan terlibat adu argumen dengan diksi yang tidak sepantasnya dilontarkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang katanya terhormat.

Mekanisme voting selalu dijadikan alternatif terakhir untuk memutuskan suatu perkara, padahal jalur musyawarah mufakat tidak pernah pernah dibuat serius. Skenario "seolah-olah buntu", membuat mekanisme voting pun dilakukan. Yang menang, tentulah yang dominan. Padahal bila musyawarah mufakat dikedepankan, maka bukan pemenang saja yang muncul, namun akan lahir pendapat yang lebih baik karena melalui kesepakatan bersama.

Musyawarah akan membuat sikap keras dan hati kasar menjadi lemah lembut. Musyawarah akan mengokohkan kebersamaan dan menjauhkan diri dari sifat yang semata-mata mementingkan urusan duniawi. Namun, apapun pemufakatan yang lahir dari musyawarah, tetaplah bertawakkal kepada Allah SWT.(*)
Anggota DPR-RI Saat Bersitegang (sumber foto: tribunnews.com)