Dalam Al-Qur'an Surat Ali Imran Ayat 159
disebutkan, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
Pada ayat ini terdapat satu kata yakni
bermusyawarahlah. Hal ini menguatkan fakta bahwa Allah SWT memang
mengharuskan umat manusia mengedepankan musyawarah dalam
menyelesaikan suatu perkara.
*********
Tentu kita tidak ingin kembali ke masa kelam
saat pemerintahan Orde Baru, dimana warga dibatasi dan diawasi ketika
berpendapat maupun berekspresi. Semua pendapat yang nuansanya
menyoroti kinerja pemerintahan orde baru, maka harus siap-siap
menghuni “hotel prodeo”. Begitu pula media massa, harus
berhadapan dengan kenyataan: medianya dibredel alias dilarang terbit.
Sementara itu, musyawarah untuk mencapai mufakat hanya jargon semata
di masa keemasan Orde Baru.
Nah, diera yang katanya sudah reformasi ini,
regulasi yang ada membuka kran kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Setiap warga negara bebas berpendapat dan mengkritisi setiap
persoalan yang dianggap tidak berpihak kepada diri pribadi maupun
masyarakat. Media massa juga tumbuh dan berkembang bak cendawan di
musim hujan.
Kendati demikian, ada tradisi dan semangat yang
tetap hilang di masyarakat kita: Musyawarah mufakat. Saat ini kita
semakin sulit menemukan kebiasaan musyawarah untuk mencapai mufakat.
Padahal ciri dari era reformasi itu sendiri adalah kebebasan
mengeluarkan pendapat, yang salah satunya dilakukan melalui wadah
bernama musyawarah mufakat.
Lihat saja di media cetak dan televisi pasca
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dimenangkan Jokowi-Jusuf
Kalla. Nyaris kita tidak lagi melihat para wakil-wakil rakyat di
parlemen melakukan musyawarah ketika ada persoalan. Mereka bahkan
terlibat adu argumen dengan diksi yang tidak sepantasnya dilontarkan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang katanya terhormat.
Mekanisme voting selalu dijadikan alternatif
terakhir untuk memutuskan suatu perkara, padahal jalur musyawarah
mufakat tidak pernah pernah dibuat serius. Skenario "seolah-olah
buntu", membuat mekanisme voting pun dilakukan. Yang menang, tentulah yang
dominan. Padahal bila musyawarah mufakat dikedepankan, maka bukan
pemenang saja yang muncul, namun akan lahir pendapat yang lebih baik
karena melalui kesepakatan bersama.
Musyawarah akan membuat sikap keras dan hati
kasar menjadi lemah lembut. Musyawarah akan mengokohkan kebersamaan
dan menjauhkan diri dari sifat yang semata-mata mementingkan urusan
duniawi. Namun, apapun pemufakatan yang lahir dari musyawarah,
tetaplah bertawakkal kepada Allah SWT.(*)
Anggota DPR-RI Saat Bersitegang (sumber foto: tribunnews.com) |