Oleh : Zainal Abidin Ridwan
Disebuah puncak bukit, hiduplah Sembilan bersaudara. Delapan
diantaranya adalah laki-laki dan seorang perempuan. Sejak kecil
mereka sudah ditempa dan dibekali pendidikan agama oleh kedua
orangtuanya. Namun, kesedihan mendalam dirasakan sembilan bersaudara
ini saat beranjak dewasa. Mereka harus berpisah dengan kedua orang
tuanya dengan cara tak lazim.
Ketika itu, sembilan bersaudara ini dikejutkan dengan suara
berdesing dan rumahnya tiba-tiba dipenuhi cahaya terang benderang.
Kedua orang tuanya tidak terlihat. Yang ada hanyalah dua berkas
cahaya yang tiba-tiba mengeluarkan suara. “Kami sudah mendidikmu
sejak kecil. Mudah-mudahan kalian menjadi manusia yang taat beribadah
dan berguna bagi orang lain,” kata suara yang bersumber dari cahaya
tersebut. “Namun, agar berguna bagi orang lain, kalian tidak boleh
tinggal disini bersama-sama. Kalian harus berpisah,”.
Seketika, kedua cahaya itupun menghilang. Sembilan bersaudara ini
yakin, kedua cahaya tadi adalah orang tua mereka. Sembilan bersaudara
inipun dihadapkan pada pilihan yang sulit. Namun, mereka harus taat
dan berbakti kepada kedua orang tua Perintah untuk berpisah pun
terpaksa dilakukan.
Mereka membagi diri ke Sembilan penjuru mata angin. Cucuran air mata
mengiringi perpisahan mereka. Pengembaraan untuk membaktikan diri
kepada masyarakat wajib mereka lakukan, sesuai petunjuk kedua orang
tua yang sudah mendidiknya sejak kecil.
Dalam pengembaraannya yang memakan waktu bertahun-tahun ini, mereka
berhasil membuka lahan di daerah yang dilewatinya serta mengajarkan
ilmunya kepada masyarakat. Anak pertama sukses membuka lahan
pertanian di daerah yang kemudian diberi nama Batangase. Dia juga
mengajarkan ilmu bercocok tanam kepada warga.
Anak kedua pun berhasil melakukan hal yang sama, dengan menjadikan
lahan tidur di daerah selatan menjadi kebun nangka yang sangat subur.
Anak kedua ini kemudian memberikan nama lahan tersebut dengan nama
Ale'nangka. Anak ketiga lebih hebat lagi. Dia mampu merubah sebuah
batu kerikil menjadi Biji Nangka, dan menebarkan biji tersebut ke
lahan kering yang dilewati saat dia mengembara. Jadilah daerah ini
menjadi daerah yang subur dan kaya dengan buah nangka.
Teluk Bone. Tampak dari puncak Pulau Kambuno, Kec. Pulau Sembilan, Kab. Sinjai |
Selama mengembara, anak keempat dan kelima juga memanfaatkannya
dengan membantu masyarakat yang kesulitan. Anak keempat berhasil
menjadi ulama besar di sebuah daerah yang berada di wilayah Barat,
dan mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat setempat. Sementara anak
Kelima juga melakukan hal yang sama dalam pengembaraannya di wilayah
Utara. Anak kelima ini mampu menyulap lahan yang dipenuhi balang atau
lumpur pohon nipa, menjadi sebuah perkampungan dan mendirikan masjid
diatasnya.
Di wilayah Tengah dan Timur, juga tersiar kabar daerah tersebut
menjadi subur dan makmur. Anak keenam yang membuka lahan perkebunan
di wilayah Tengah, berhasil diikuti warga setempat. Bahkan mereka
menggantungkan hidupnya dari hasil perkebunan. Sementara anak Ketujuh
yang mengembara ke wilayah Timur, berhasil membuat perahu untuk
warga. Perahu inilah yang dipakai masyarakat setempat mencari ikan di
sungai, guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Meski seorang perempuan, namun anak Kedelapan ternyata memiliki ilmu
yang tidak kalah hebat dengan saudara-saudaranya. Bahkan dalam
pengembaraannya disebuah bukit bernama Karampulue, anak kedelapan ini
berhasil membuka lahan pertanian yang jumlahnya sangat banyak. Dia
pun membagikan lahan pertanian ini kepada masyarakat untuk dikelola.
Saat masyarakat masih butuh bimbingannya, anak kedelapan ini
tiba-tiba menghilang dan hanya meninggalkan berkas cahaya.
Kejadiannya sama ketika kedua orangtuanya juga menghilang.
Kemudian anak Kesembilan atau si bungsu, justru mengembara ke
tempat yang lebih jauh dan harus melawan derasnya ombak. Meski hanya
menggunakan sebatang tongkat kayu, anak kesembilan ini bisa sampai
disebuah pulau bernama Burungloe.
Namun pulau ini ternyata tidak berpenghuni. Untuk mengusir rasa
sepinya, anak Kesembilan ini pergi ke pinggir pantai dan memukulkan
tongkatnya sebanyak sembilan kali. Pukulan tongkat sebanyak sembilan
kali ini dilakukan, dengan harapan dia memiliki jodoh bertemu lagi
dengan saudara-saudaranya yang lain.
Setelah memukulkan tongkatnya sebanyak sembilan kali, anak
kesembilan inipun menghilang. Konon, pukulan tongkat inilah yang
membentuk sumur-sumur kecil yang airnya tawar, dan dikenal warga
pulau Burungloe di Sinjai sebagai sumur jodoh. (Sinjai, 11/5/2013)