Oleh : Zainal Abidin Ridwan
( Pemred Sinjai TV )
Salah satu perwujudan Hak Asasi Manusia
(HAM) adalah kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi. Salah
satu media untuk menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi adalah
televisi.
Pada deklarasi
Hak Asasi Manusia, tanggal 10 Desember 1948, terdapat sebuah pasal yakni pasal
19 yang mengatur kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Pasal ini
kemudian dijadikan dasar menyusun sejumlah regulasi tentang hak-hak masyarakat yang
salah satunya adalah undang-undang tentang penyiaran.
Kendati demikian
sejak jaman orde baru, kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat sesuai
yang termaktub dalam deklarasi HAM tersebut tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Tentu pelaku di dunia penyiaran masih ingat undang-undang nomor 24
tahun 1997 yang juga mengatur tentang penyiaran. Disalah satu pasalnya
mengatakan bahwa “Penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan
pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah”.
Bunyi pasal ini
menunjukkan bahwa penyiaran pada masa itu merupakan bagian instrumen kekuasaan
yang digunakan semata-mata untuk kepentingan pengusa atau pemerintah. Angin
segar di dunia penyiaran baru dirasakan sejak ditetapkannya undang-undang
penyiaran yang baru yakni UU No. 32 tahun 2002.
Lahirnya UU No.
32 tahun 2002 tentang penyiaran, beranjak dari dua semangat utama yakni
pengelolaan sistem penyiaran yang bebas dari kepentingan dan digunakan
sebesar-besarnya untuk kepentingan publik, serta penguatan entitas lokal dalam
semangat otonomi daerah.
Sejak
diterapkannya undang-undang penyiaran yang baru ini, terjadi perubahan mendasar
dalam pengelolaan sistem penyiaran di Indonesia. Perubahan yang paling
fundamental adalah diberikannya kewenangan kepada sebuah badan yang independen
untuk mengatur dunia penyiaran di Indonesia. Hal ini tentu berbeda pada masa
rezim orde baru, dimana pengelolaan penyiaran adalah hak ekslusif pemerintah.
Dengan lembaga
yang independen, yang kemudian bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ini,
penyiaran menjadi sebuah ranah publik yang betul-betul independen dan terbebas
dari intervensi maupun kepentingan kekuasaan. Dengan kewenangan yang dimiliki
dan berdasar pada regulasi yang ada, KPI kemudian menjadi lembaga yang mengatur
dunia penyiaran dari hulu ke hilir.
Diantara tugas
dan kewajiban KPI adalah menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang
layak dan benar, sesuai dengan hak asasi manusia. Serta ikut membantu
pengaturan infrastruktur bidang penyiaran.
Untuk mewujudkan demokratisasi
penyiaran, maka salah satu semangat yang diusung adalah desentralisasi
penyiaran. Dengan cara memberikan kesempatan pada masyarakat di daerah untuk
mendirikan lembaga penyiaran yang sesuai dengan adat, budaya dan tatanan nilai
atau norma daerah setempat. Desentralisasi penyiaran juga bermakna menjadikan
masyarakat bukan lagi sebagai obyek, tapi juga berperan sebagai subyek di
bidang penyiaran.
Lahirnya UU No. 32 Tahun 2002 serta
terbentuknya Komisi Penyiaran Indonesia, membuat dunia penyiaran yang dulunya
letih lesu, kini bangkit dan berdiri. Laiknya jamur di musim penghujan,
perusahaan swasta pun berlomba-lomba berinvestasi di bisnis penyiaran.
Hal yang sama
juga terjadi di daerah. Sejak digulirkannya otonomi daerah, semakin mudah kita
melihat dan mendengarkan lahirnya media lokal yang sebagian besar sumber
dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Sebut saja
misalnya, Ratih TV di Kota Kebumen, Batik TV di Pekalongan serta Batu TV di
Malang. Adapula Kendari TV di Sulawesi Tenggara, Kupang TV, MCTV Pare-Pare dan Sinjai
TV di Sulawesi Selatan. Belum lagi tv komunitas yang jumlahnya di Indonesia
saat ini mungkin saja mencapai ratusan.
Peluang
dan Tantangan
Dengan
mengusung semangat otonomi daerah, televisi lokal menghadirkan warna baru dunia
penyiaran di tanah air kita. Hal ini memberikan peluang besar bagi pemerintah
daerah mengangkat potensi daerah mereka melalui media audio visual. Harus
diakui bahwa selama ini potensi daerah memang kurang terekspos, bahkan kurang
mendapat tempat di televisi-televisi swasta.
Selain itu
tayangan tv lokal yang mengakomodir program lokalitas daerah, tentu menjadi hal
yang ditunggu-tunggu masyarakat di daerah. Hal ini memberi dampak positif
terutama optimalisasi pembangunan daerah, karena diyakini akan mendongkrak
partisipasi dan peran serta masyarakat dalam pembangunan.
Peluang lain
dengan keberadaan televisi lokal adalah terbukanya lapangan pekerjaan.
Rumah-rumah produksi tentu akan tumbuh dan berkembang dengan kehadiran tv
lokal.
Namun diantara
sejumlah peluang yang ada, tidak sedikit pula tantangan yang harus dihadapi
saat mendirikan televisi lokal ini, khususnya televisi yang sebagian besar
mengandalkan biaya operasionalnya dari APBD.
Mendirikan
televisi berarti mendirikan media yang padat modal. Membutuhkan investasi yang
tidak sedikit seperti pengadaan infrastruktur, peralatan produksi serta biaya
operasional yang besar. Begitu pula dengan ketersediaan Sumber Daya Manusia
(SDM).
Tidak bisa
dinafikkan, bahwa ketersediaan Sumber Daya Manusia menjadi hal yang wajib ada sebelum
mendirikan televisi lokal. Investasi yang besar akan terbuang percuma apabila
tidak ada SDM handal dan berkualitas yang bisa mengoperasikan.
Jika semua
tantangan itu bisa dilewati, investasi dan SDM yang ada sudah memadai, maka
peluang ini harus dimanfaatkan pengelola televisi lokal di daerah untuk eksis
dan bersaing dengan tv swasta nasional. Saatnya menggali dan mengemas kearifan
budaya lokal untuk dijadikan program siaran layak tonton, karena inilah yang
dinantikan masyarakat di daerah.
Untuk
mengangkat kearifan lokal sebagai ciri khas masyarakat kita, serta memberikan
peluang kepada masyarakat di daerah sebagai subyek dan bukan lagi sebagai obyek
dari media penyiaran, maka kehadiran tv lokal adalah sebuah keharusan dan
kebutuhan. (*)
semngat kanda...!!!
BalasHapus