Jumat, 31 Mei 2013

TV LOKAL, PELUANG DAN TANTANGAN



Oleh : Zainal Abidin Ridwan
( Pemred Sinjai TV )

Salah satu perwujudan Hak Asasi Manusia (HAM) adalah kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi. Salah satu media untuk menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi adalah televisi.
Pada deklarasi Hak Asasi Manusia, tanggal 10 Desember 1948, terdapat sebuah pasal yakni pasal 19 yang mengatur kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Pasal ini kemudian dijadikan dasar menyusun sejumlah regulasi tentang hak-hak masyarakat yang salah satunya adalah undang-undang tentang penyiaran.
Kendati demikian sejak jaman orde baru, kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat sesuai yang termaktub dalam deklarasi HAM tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tentu pelaku di dunia penyiaran masih ingat undang-undang nomor 24 tahun 1997 yang juga mengatur tentang penyiaran. Disalah satu pasalnya mengatakan bahwa “Penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah”.

Bunyi pasal ini menunjukkan bahwa penyiaran pada masa itu merupakan bagian instrumen kekuasaan yang digunakan semata-mata untuk kepentingan pengusa atau pemerintah. Angin segar di dunia penyiaran baru dirasakan sejak ditetapkannya undang-undang penyiaran yang baru yakni UU No. 32 tahun 2002.
Lahirnya UU No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran, beranjak dari dua semangat utama yakni pengelolaan sistem penyiaran yang bebas dari kepentingan dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik, serta penguatan entitas lokal dalam semangat otonomi daerah.
Sejak diterapkannya undang-undang penyiaran yang baru ini, terjadi perubahan mendasar dalam pengelolaan sistem penyiaran di Indonesia. Perubahan yang paling fundamental adalah diberikannya kewenangan kepada sebuah badan yang independen untuk mengatur dunia penyiaran di Indonesia. Hal ini tentu berbeda pada masa rezim orde baru, dimana pengelolaan penyiaran adalah hak ekslusif pemerintah.
Dengan lembaga yang independen, yang kemudian bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ini, penyiaran menjadi sebuah ranah publik yang betul-betul independen dan terbebas dari intervensi maupun kepentingan kekuasaan. Dengan kewenangan yang dimiliki dan berdasar pada regulasi yang ada, KPI kemudian menjadi lembaga yang mengatur dunia penyiaran dari hulu ke hilir.
Diantara tugas dan kewajiban KPI adalah menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar, sesuai dengan hak asasi manusia. Serta ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran.
Untuk mewujudkan demokratisasi penyiaran, maka salah satu semangat yang diusung adalah desentralisasi penyiaran. Dengan cara memberikan kesempatan pada masyarakat di daerah untuk mendirikan lembaga penyiaran yang sesuai dengan adat, budaya dan tatanan nilai atau norma daerah setempat. Desentralisasi penyiaran juga bermakna menjadikan masyarakat bukan lagi sebagai obyek, tapi juga berperan sebagai subyek di bidang penyiaran.
 Lahirnya UU No. 32 Tahun 2002 serta terbentuknya Komisi Penyiaran Indonesia, membuat dunia penyiaran yang dulunya letih lesu, kini bangkit dan berdiri. Laiknya jamur di musim penghujan, perusahaan swasta pun berlomba-lomba berinvestasi di bisnis penyiaran.
Hal yang sama juga terjadi di daerah. Sejak digulirkannya otonomi daerah, semakin mudah kita melihat dan mendengarkan lahirnya media lokal yang sebagian besar sumber dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Sebut saja misalnya, Ratih TV di Kota Kebumen, Batik TV di Pekalongan serta Batu TV di Malang. Adapula Kendari TV di Sulawesi Tenggara, Kupang TV, MCTV Pare-Pare dan Sinjai TV di Sulawesi Selatan. Belum lagi tv komunitas yang jumlahnya di Indonesia saat ini mungkin saja mencapai ratusan.

Peluang dan Tantangan
Dengan mengusung semangat otonomi daerah, televisi lokal menghadirkan warna baru dunia penyiaran di tanah air kita. Hal ini memberikan peluang besar bagi pemerintah daerah mengangkat potensi daerah mereka melalui media audio visual. Harus diakui bahwa selama ini potensi daerah memang kurang terekspos, bahkan kurang mendapat tempat di televisi-televisi swasta.   
Selain itu tayangan tv lokal yang mengakomodir program lokalitas daerah, tentu menjadi hal yang ditunggu-tunggu masyarakat di daerah. Hal ini memberi dampak positif terutama optimalisasi pembangunan daerah, karena diyakini akan mendongkrak partisipasi dan peran serta masyarakat dalam pembangunan.
Peluang lain dengan keberadaan televisi lokal adalah terbukanya lapangan pekerjaan. Rumah-rumah produksi tentu akan tumbuh dan berkembang dengan kehadiran tv lokal.
Namun diantara sejumlah peluang yang ada, tidak sedikit pula tantangan yang harus dihadapi saat mendirikan televisi lokal ini, khususnya televisi yang sebagian besar mengandalkan biaya operasionalnya dari APBD.
Mendirikan televisi berarti mendirikan media yang padat modal. Membutuhkan investasi yang tidak sedikit seperti pengadaan infrastruktur, peralatan produksi serta biaya operasional yang besar. Begitu pula dengan ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM).
Tidak bisa dinafikkan, bahwa ketersediaan Sumber Daya Manusia menjadi hal yang wajib ada sebelum mendirikan televisi lokal. Investasi yang besar akan terbuang percuma apabila tidak ada SDM handal dan berkualitas yang bisa mengoperasikan.
Jika semua tantangan itu bisa dilewati, investasi dan SDM yang ada sudah memadai, maka peluang ini harus dimanfaatkan pengelola televisi lokal di daerah untuk eksis dan bersaing dengan tv swasta nasional. Saatnya menggali dan mengemas kearifan budaya lokal untuk dijadikan program siaran layak tonton, karena inilah yang dinantikan masyarakat di daerah.   
Untuk mengangkat kearifan lokal sebagai ciri khas masyarakat kita, serta memberikan peluang kepada masyarakat di daerah sebagai subyek dan bukan lagi sebagai obyek dari media penyiaran, maka kehadiran tv lokal adalah sebuah keharusan dan kebutuhan. (*)

1 komentar:

Terima kasih atas kunjungan dan sarannya