Sabtu, 01 Maret 2014

Mengelola Tantangan Untuk Sinjai Sejahtera


- Catatan HUT Sinjai ke-450, Tgl 27 Februari 2014

Setelah pelantikan bupati dan wakil bupati Sinjai terpilih, H. Sabirin Yahya dan H. A. Fajar Yanwar, tgl 14 Agustus 2013 lalu, saya tiba-tiba semakin rajin nongkrong di kafe atau warung kopi yang ada di Sinjai. Tujuannya bukan sekadar menyeruput secangkir kopi, namun juga mendengarkan celoteh pengunjung lain atau berdiskusi dengan rekan dan mitra kerja yang kebetulan memiliki hobi yang sama, ngopi.

Banyak cerita dan ungkapan suka cita euforia kemenangan. Sudah pasti datang dari tim pendukung pasangan pemenang pemilukada. Bagi pendukung pasangan H. Sabirin Yahya dan H. A. Fajar Yanwar atau identik dengan tagline SBY-Fajar, kemenangan ini tentulah sangat berkesan mengingat pasangan ini berhasil mengungguli delapan pasangan kandidat lainnya. Lebih berkesan lagi bagi pribadi seorang Sabirin Yahya. Kemenangan direngkuh setelah gagal pada pemilukada sebelumnya.

Dari seliweran ungkapan kegembiraan yang muncul dari pendukung SBY-Fajar, tidak sedikit pula timbul nada kekecewaan dari pendukung dan tim sukses kandidat yang belum berhasil menjadi pemenang. Tapi itulah warung kopi. Selain menikmati kopi, kita juga harus siap-siap “menikmati” celoteh yang kadang berujung hujatan.


Sebenarnya saya tidak ingin menyimpulkan obrolan yang kerap saya dengarkan di warung kopi. Namanya saja obrolan warung kopi. Kadang umpatan dan hujatannya tidak memberi solusi. Kadang pula informasinya tidak valid karena tidak didukung fakta yang kuat. Namun tidak sedikit pula obrolannya berakhir dengan cerdas menyehatkan.

Hanya saja teori-teori komunikasi kadang menggelitik saya untuk menyimpulkan obrolan warung kopi yang lebih bernuansa politik ini. Dasar dari komunikasi adalah, bahwa komunikasi itu merupakan sebuah proses yang terjadi setiap saat. Melibatkan paling tidak minimal dua orang untuk menyatukan pendapat dan saling mempengaruhi perilaku satu sama lainnya dalam sebuah interaksi. Komunikasi menjadi sebuah “alat” untuk individu sebagai upaya memahami dunia. Melalui komunikasi, individu mampu mengenal dirinya sendiri dan orang lain. Komunikasi menjadi penghubung antara individu dengan individu, individu dengan kelompoknya dan juga di dalam masyarakat. Mendorong seseorang agar dapat menyesuaikan diri dengan orang lain dan lingkungannya.

Komunikasi menjadi “barang” yang penting ketika ada saluran informasi yang buntu dan membeku. Komunikasi yang efektif akan mencairkan kebuntuan dan kebekuan tersebut, terutama pasca pilkada Sinjai. 

Namun saya ragu ada bangunan komunikasi yang tercipta antar sesama pendukung, sesama kontestan pemilukada lalu serta kepada seluruh masyarakat Sinjai. Apalagi saat ini usia kepemimpinan SBY-Fajar hingga hari jadi Sinjai ke-450, tgl 27 Februari 2014 ini sudah memasuki hari ke-200. Hari dimana ujian dan tantangan bakal menjadi batu sandungan bila tidak terkelola baik.

Mengelola Tantangan
Sejatinya, pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah atau seringkali disingkat pilkada atau pemilukada adalah sarana yang tepat untuk memilih pemimpin daerah secara demokratis. Pemimpin yang lahir karena pilihan dominan oleh rakyat melalui pilkada diyakini akan mampu membawa suatu daerah ke arah yang lebih baik.

Akan halnya Sinjai. Terpilihnya H. Sabirin Yahya dan H. A. Fajar Yanwar, disambut antusias masyarakat Sinjai. Selain keduanya putra asli Sinjai, sosok Sabirin Yahya yang mantan birokrat dianggap mengenal lebih dalam potensi dan cara mengelola Sinjai.

Namun kapasitas keduanya yang tidak diragukan ini, perlu dibarengi soliditas dan kinerja yang baik dari “kabinet”yang dibentuknya. Disinilah tantangan awal mulai “bermain” diwilayah kekuasaan pasangan ini.

Penyusunan “kabinet” atau pejabat pemerintahan yang akan membantu tugas-tugasnya mengelola Sinjai bukanlah hal yang mudah. Pasangan ini harus berhadapan dengan tekanan berbagai kelompok kepentingan. Bahkan mungkin kelompok penekan serta tokoh-tokoh politik yang menganggap diri punya andil mengantarkan pasangan ini memimpin Sinjai.

Mengakomodir keinginan kelompok kepentingan serta unsur-unsur lain yang terlibat dalam infrastruktur politik memang sah-sah saja bila ditinjau dari perspektif politik. Hanya saja terkadang, bentuk intervensi ini seringkali mengabaikan prosedur yang berlaku di pemerintahan.

Banyak contoh kasus yang terjadi, dimana badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan hanya menjadi pajangan. Perannya dipangkas dan diambil alih oleh kelompok-kelompok yang sangat berkepentingan. Jadilah struktur pemerintahan diisi orang-orang yang tidak berkapasitas dan berkualitas.

Bagaimana Sinjai ?. Dari beberapa kali pelantikan pejabat baru yang mengisi pos-pos di pemerintahan, muncul pula riak-riak dan nada pesimis dari sejumlah kelompok masyarakat. Lagi-lagi ini berkembang dan berawal dari diskusi warung kopi. Mulai dari nada kurang puas, jabatan yang tidak pas, pangkat yang belum memenuhi syarat hingga latar belakang keilmuan yang berbeda dengan pos baru yang ditempati.

Saya tidak berani mengeneralisir bahwa ocehan ini mewakili seluruh masyarakat. Hanya saja menurut pendapat saya pribadi, melakukan pergeseran atau lebih “seksi” dikenal dengan nama mutasi ini harus tetap mengedepankan kualitas dan kapasitas pegawai negeri yang bersangkutan. 

Mutasi jabatan merupakan hak prerogatif bupati. Dan saya pribadi, lagi-lagi berharap itu tidak dilakukan atas dasar like and dislike. Biar bagaimana pun pilkada telah berlalu. Saatnya melakukan reformasi birokrasi dengan efektif dan efisien dan melupakan seluruh perbedaan, termasuk perbedaan pilihan saat pilkada lalu. 

Mutasi jabatan di awal pemerintahan hanyalah secuil dari sekian banyak tantangan yang harus dikelola dengan baik pasangan SBY-Fajar. Bukan tidak mungkin tantangan ini akan berbuah hambatan dalam pemerintahan, bilamana keduanya tidak mampu mengelola dengan baik.

Dalam memutar roda organisasi pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan, serta menghadapi konflik, gejolak dan permasalahan pemerintahan, SBY-Fajar akan dihadapkan pada pelbagai tuntutan dan tantangan baik secara internal maupun eksternal. Tantangan ini akan menjadi ujian terhadap kapabilitas dan kompetensi keduanya.

Untuk memaksimalkan tantangan menjadi peluang, maka yang juga perlu dilakukan diawal kepemimpinan keduanya adalah rekonsiliasi. Rekonsiliasi yang saya maksud disini adalah tindakan untuk memulihkan hubungan persahabatan atau persaudaraan.

Bukan karena pernah timbul keretakan. Namun tindakan pemulihan hubungan hanyalah bentuk hijrah moral yang harus dilakukan seluruh elemen infrastruktur pemenangan dan seluruh masyarakat yang pernah terlibat pada kontestasi pilkada.
Semangat awal yang terbangun yakni memenangkan calon kita pada pilkada, harus hijrah menjadi semangat mengokohkan persahabatan dan persaudaraan untuk membangun Sinjai. Kita semua berada dalam satu jahitan atau Sijai. Tidak ada lagi tim pemenangan, yang ada adalah semangat kebersamaan membangun Sinjai. 

Pertanyaannya sekarang. Pertama, sudahkah pasangan ini membangun komunikasi dengan partai-partai pengusung dan pendukung, yang mengantarkan keduanya menjadi bupati dan wakil bupati Sinjai ?. Saya khawatir kelak mereka akan menuntut “bagian” dari buah perjuangan mereka, yang bila mana tidak terakomodir akan memilih menjadi kelompok penekan.

Membangun komunikasi yang saya maksud disini bukan untuk bagi-bagi “kue” proyek misalnya. Namun lebih kepada bagaimana menyamakan persepsi bahwa pilkada sudah selesai. Saatnya seluruh partai pengusung dan pendukung berbaur dengan komunitas masyarakat lainnya, untuk sama-sama menyukseskan program pemerintah. 

Kedua, sudahkah pasangan ini menjalin komunikasi dengan kompetitor lainnya saat pilkada lalu ?. Ini juga penting dilakukan untuk menunjukkan bahwa saatnya melupakan perbedaan. Mari satukan visi dan bersama-sama membangun daerah demi mengukuhkan ke-Sinjai-an kita.

Ada pepatah yang mengatakan, besar kapal besar pula gelombangnya. Makin tinggi kedudukan atau jabatan, makin besar pula tanggung jawabnya. Namun dalam konteks membangun daerah, tanggung jawab mengelola dan menata kabupaten Sinjai bukan sekadar menjadi tugas bupati dan wakil bupati, namun menjadi tugas kita semua sebagai masyarakat Sinjai.

Tinggal bagaimana keduanya memanfaatkan potensi yang ada, agar daerah berjuluk “Bumi Panrita Kitta” ini menjadi terdepan di Sulawesi Selatan dengan masyarakatnya yang lebih sejahtera. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan sarannya