- Catatan
HUT Sinjai ke-450, Tgl
27 Februari 2014
Setelah
pelantikan bupati dan wakil bupati Sinjai terpilih, H. Sabirin Yahya
dan H. A. Fajar Yanwar, tgl 14 Agustus 2013 lalu, saya tiba-tiba
semakin rajin nongkrong di kafe atau warung kopi yang ada di Sinjai.
Tujuannya bukan sekadar menyeruput secangkir kopi, namun juga
mendengarkan celoteh pengunjung lain atau berdiskusi dengan rekan dan
mitra kerja yang kebetulan memiliki hobi yang sama, ngopi.
Banyak
cerita dan ungkapan suka cita euforia kemenangan. Sudah pasti datang
dari tim pendukung pasangan pemenang pemilukada. Bagi pendukung
pasangan H. Sabirin Yahya dan H. A. Fajar Yanwar atau identik dengan
tagline SBY-Fajar, kemenangan ini tentulah sangat berkesan mengingat
pasangan ini berhasil mengungguli delapan pasangan kandidat lainnya.
Lebih berkesan lagi bagi pribadi seorang Sabirin Yahya. Kemenangan
direngkuh setelah gagal pada pemilukada sebelumnya.
Dari seliweran ungkapan kegembiraan yang muncul dari pendukung
SBY-Fajar, tidak sedikit pula timbul nada kekecewaan dari pendukung
dan tim sukses kandidat yang belum berhasil menjadi pemenang. Tapi
itulah warung kopi. Selain menikmati kopi, kita juga harus siap-siap
“menikmati” celoteh yang kadang berujung hujatan.
Sebenarnya
saya tidak ingin menyimpulkan obrolan yang kerap saya dengarkan di
warung kopi. Namanya saja obrolan warung kopi. Kadang umpatan dan
hujatannya tidak memberi solusi. Kadang pula informasinya tidak valid
karena tidak didukung fakta yang kuat. Namun tidak sedikit pula
obrolannya berakhir dengan cerdas menyehatkan.
Hanya
saja teori-teori komunikasi kadang menggelitik saya untuk
menyimpulkan obrolan warung kopi yang lebih bernuansa politik ini.
Dasar dari komunikasi adalah, bahwa komunikasi itu merupakan sebuah
proses yang terjadi setiap saat. Melibatkan paling tidak minimal dua
orang untuk menyatukan pendapat dan saling mempengaruhi perilaku satu
sama lainnya dalam sebuah interaksi. Komunikasi menjadi sebuah
“alat” untuk individu sebagai upaya memahami dunia. Melalui
komunikasi, individu mampu mengenal dirinya sendiri dan orang lain.
Komunikasi menjadi penghubung antara individu dengan individu,
individu dengan kelompoknya dan juga di dalam masyarakat. Mendorong
seseorang agar dapat menyesuaikan diri dengan orang lain dan
lingkungannya.
Komunikasi
menjadi “barang” yang penting ketika ada saluran informasi yang
buntu dan membeku. Komunikasi yang efektif akan mencairkan kebuntuan
dan kebekuan tersebut, terutama pasca pilkada Sinjai.
Namun
saya ragu ada bangunan komunikasi yang tercipta antar sesama
pendukung, sesama kontestan pemilukada lalu serta kepada seluruh
masyarakat Sinjai. Apalagi saat ini usia kepemimpinan SBY-Fajar
hingga hari jadi Sinjai ke-450, tgl 27 Februari 2014 ini sudah
memasuki hari ke-200. Hari dimana ujian dan tantangan bakal menjadi
batu sandungan bila tidak terkelola baik.
Mengelola
Tantangan
Sejatinya,
pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah atau seringkali
disingkat pilkada atau pemilukada adalah sarana yang tepat untuk
memilih pemimpin daerah secara demokratis. Pemimpin yang lahir karena
pilihan dominan oleh rakyat melalui pilkada diyakini akan mampu
membawa suatu daerah ke arah yang lebih baik.
Akan
halnya Sinjai. Terpilihnya H. Sabirin Yahya dan H. A. Fajar Yanwar,
disambut antusias masyarakat Sinjai. Selain keduanya putra asli
Sinjai, sosok Sabirin Yahya yang mantan birokrat dianggap mengenal
lebih dalam potensi dan cara mengelola Sinjai.
Namun
kapasitas keduanya yang tidak diragukan ini, perlu dibarengi
soliditas dan kinerja yang baik dari “kabinet”yang dibentuknya.
Disinilah tantangan awal mulai “bermain” diwilayah kekuasaan
pasangan ini.
Penyusunan
“kabinet” atau pejabat pemerintahan yang akan membantu
tugas-tugasnya mengelola Sinjai bukanlah hal yang mudah. Pasangan ini
harus berhadapan dengan tekanan berbagai kelompok kepentingan. Bahkan
mungkin kelompok penekan serta tokoh-tokoh politik yang menganggap
diri punya andil mengantarkan pasangan ini memimpin Sinjai.
Mengakomodir
keinginan kelompok kepentingan serta unsur-unsur lain yang terlibat
dalam infrastruktur politik memang sah-sah saja bila ditinjau dari
perspektif politik. Hanya saja terkadang, bentuk intervensi ini
seringkali mengabaikan prosedur yang berlaku di pemerintahan.
Banyak
contoh kasus yang terjadi, dimana badan pertimbangan jabatan dan
kepangkatan hanya menjadi pajangan. Perannya dipangkas dan diambil
alih oleh kelompok-kelompok yang sangat berkepentingan. Jadilah
struktur pemerintahan diisi orang-orang yang tidak berkapasitas dan
berkualitas.
Bagaimana
Sinjai ?. Dari beberapa kali pelantikan pejabat baru yang mengisi
pos-pos di pemerintahan, muncul pula riak-riak dan nada pesimis dari
sejumlah kelompok masyarakat. Lagi-lagi ini berkembang dan berawal
dari diskusi warung kopi. Mulai dari nada kurang puas, jabatan yang
tidak pas, pangkat yang belum memenuhi syarat hingga latar belakang
keilmuan yang berbeda dengan pos baru yang ditempati.
Saya
tidak berani mengeneralisir bahwa ocehan ini mewakili seluruh
masyarakat. Hanya saja menurut pendapat saya pribadi, melakukan
pergeseran atau lebih “seksi” dikenal dengan nama mutasi ini
harus tetap mengedepankan kualitas dan kapasitas pegawai negeri yang
bersangkutan.
Mutasi
jabatan merupakan hak prerogatif bupati. Dan saya pribadi, lagi-lagi
berharap itu tidak dilakukan atas dasar like and dislike. Biar
bagaimana pun pilkada telah berlalu. Saatnya melakukan reformasi
birokrasi dengan efektif dan efisien dan melupakan seluruh perbedaan,
termasuk perbedaan pilihan saat pilkada lalu.
Mutasi jabatan di awal pemerintahan hanyalah secuil dari sekian
banyak tantangan yang harus dikelola dengan baik pasangan SBY-Fajar.
Bukan tidak mungkin tantangan ini akan berbuah hambatan dalam
pemerintahan, bilamana keduanya tidak mampu mengelola dengan baik.
Dalam
memutar roda organisasi pemerintahan, pembangunan dan pembinaan
kemasyarakatan, serta menghadapi konflik, gejolak dan permasalahan
pemerintahan, SBY-Fajar akan dihadapkan pada pelbagai tuntutan dan
tantangan baik secara internal maupun eksternal. Tantangan ini akan
menjadi ujian terhadap kapabilitas dan kompetensi keduanya.
Untuk memaksimalkan tantangan menjadi peluang, maka yang juga perlu
dilakukan diawal kepemimpinan keduanya adalah rekonsiliasi.
Rekonsiliasi yang saya maksud disini adalah tindakan untuk memulihkan
hubungan persahabatan atau persaudaraan.
Bukan
karena pernah timbul keretakan. Namun tindakan pemulihan hubungan
hanyalah bentuk hijrah moral yang harus dilakukan seluruh elemen
infrastruktur pemenangan dan seluruh masyarakat yang pernah terlibat
pada kontestasi pilkada.
Semangat
awal yang terbangun yakni memenangkan calon kita pada pilkada, harus
hijrah menjadi semangat mengokohkan persahabatan dan persaudaraan
untuk membangun Sinjai. Kita semua berada dalam satu jahitan atau
Sijai. Tidak ada lagi tim pemenangan, yang ada adalah semangat
kebersamaan membangun Sinjai.
Pertanyaannya
sekarang. Pertama, sudahkah pasangan ini membangun
komunikasi dengan partai-partai pengusung dan pendukung, yang
mengantarkan keduanya menjadi bupati dan wakil bupati Sinjai ?. Saya
khawatir kelak mereka akan menuntut “bagian” dari buah perjuangan
mereka, yang bila mana tidak terakomodir akan memilih menjadi
kelompok penekan.
Membangun
komunikasi yang saya maksud disini bukan untuk bagi-bagi “kue”
proyek misalnya. Namun lebih kepada bagaimana menyamakan persepsi
bahwa pilkada sudah selesai. Saatnya seluruh partai pengusung dan
pendukung berbaur dengan komunitas masyarakat lainnya, untuk
sama-sama menyukseskan program pemerintah.
Kedua,
sudahkah
pasangan ini menjalin komunikasi dengan kompetitor lainnya saat
pilkada lalu ?. Ini juga penting dilakukan untuk menunjukkan bahwa
saatnya melupakan perbedaan. Mari satukan visi dan bersama-sama
membangun daerah demi mengukuhkan ke-Sinjai-an kita.
Ada
pepatah yang mengatakan, besar kapal besar pula
gelombangnya. Makin tinggi kedudukan atau jabatan, makin besar pula
tanggung jawabnya. Namun dalam konteks membangun daerah, tanggung
jawab mengelola dan menata kabupaten Sinjai bukan sekadar menjadi
tugas bupati dan wakil bupati, namun menjadi tugas kita semua sebagai
masyarakat Sinjai.
Tinggal
bagaimana keduanya memanfaatkan potensi yang ada, agar daerah
berjuluk “Bumi Panrita Kitta” ini menjadi terdepan
di Sulawesi Selatan dengan masyarakatnya yang lebih sejahtera. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan sarannya