Di
dalam buku tulisan kluckhohn berjudul Universal
Categories Of Culture ( 1953 ),
membahas kerangka-kerangka kebudayaan yang kemudian dijadikan
kerangka umum. Berdasarkan itu pulalah Koentjaraningrat memaparkan 7
( tujuh ) unsur kebudayaan, diantaranya (1) sistem religi yang
meliputi sistem kepercayaan, nilai dan pandangan hidup serta
komunikasi keagamaan dan upacara keagamaan, (2) sistem kemasyarakatan
yang meliputi kekerabatan dan sistem kenegaraan, (3) sistem
pengetahuan yang meliputi pengetahuan tentang flora dan fauna, waktu,
ruang, bilangan dan perilaku manusia. (4) Bahasa yaitu alat berbentuk
komunikasi, baik lisan maupun tulisan, (5) kesenian meliputi seni
pahat, relief, vokal, musik dan kesusastraan, (6) sistem ekonomi yang
meliputi berburu, bercocok tanam, peternakan (7) sistem peralatan
hidup yang meliputi tempat berlindung, perumahan, pakaian dan
peralatan konsumsi.
Ketujuh
unsur kebudayaan yang dikelompokkan Koentjaraningrat ini, kadang
disederhanakan dengan istilah: kearifan lokal atau local
wisdom. Kearifan lokal adalah
nilai-nilai yang berlangsung turun temurun atau men-tradisi
dikalangan masyarakat sebagai akibat dari adanya interaksi atau
hubungan antara manusia dengan lingkungannya.
Seluruh
daerah di Indonesia mempunyai kebudayaan, dan kearifan lokal-nya
masing-masing. Seperti contoh di Bali dengan tradisi Ngaben-nya,
Bau Nyale atau
berburu cacing laut di Lombok NTB, Rambu
Solo
di Tana Toraja serta tradisi pesta panen Mappogau
Hanua
di Karampuang, Desa Tompobulu, Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai.
Ketiga contoh tradisi budaya tersebut bisa terlaksana dan bertahan
hingga saat ini karena adanya nilai kebersamaan dan interaksi yang
terjalin sesama pendukung kebudayaan ini.
Di
Karampuang, Sinjai misalnya. Kendati hanyalah sebuah dusun kecil
dengan jumlah penduduk sekira 400 jiwa lebih, namun kekayaan seni dan
budaya yang mereka miliki masih terjaga dari generasi ke generasi.
Pranata atau sistem norma dan aturan-aturan
khusus di dalam kampung tradisional Karampuang, juga sangat majemuk.
Bukan hanya pranata tidak tertulis ( hukum adat ) yang dimiliki
karampuang, namun pranata dalam bentuk tulisan juga bisa kita jumpai.
Dalam
kawasan adat karampuang, unsur kebudayaan sistem religi dapat kita
saksikan pada acara ritual adat yang tetap berlangsung intensif
dengan memanfaatkan benda-benda megalit dan merupakan bukti kuat
betapa penganut kepercayaan kepada leluhurnya begitu kuat. Bahkan
sebagian besar tingkah laku, pola hidup dan pola pikirannya tetap
berhubungan dengan leluhurnya. Ritual adat ini dapat kita saksikan
saat pelaksanaan pesta adat Mappugau Hanua atau pesta kampung, yang
dilaksanakan setiap bulan Oktober atau Nopember tahun berjalan.
Perangkat-perangkat
adat Karampuang berhubungan dengan leluhurnya melalui ritual suci
yang dilakukan pada setiap tradisi Mappogau Hanua digelar. Namun bagi
anggota masyarakat yang bermukim diluar kawasan adat, perangkat adat
Karampuang memberikan kesempatan kepada mereka untuk terlibat dan
menyaksikan.
Dari Batu
Gong ke Handphone
Pada
zaman dahulu, perangkat adat atau tetua adat Karampuang memiliki cara
tersendiri ketika Mappogau Hanua akan digelar. Untuk terhubung dengan
warga pendukung adat Karampuang yang bermukim agak jauh dari kawasan
adat, maka tetua adat yakni Sanro
menggunakan
media berupa batu besar. Batu ini dinamakan: Batu Gong. Dinamakan
seperti itu karena memang bunyinya seperti gong ketika dipukul oleh
Sanro. Batu
gong tersebut masih dapat kita saksikan hingga saat ini.
Sekilas bila melihat Batu Gong, tidak ada bedanya dengan batu biasa.
Namun kedalaman ilmu yang dimiliki oleh Sanro, membuat batu yang
terlihat biasa tersebut bunyinya seperti gong dan bisa didengar oleh
warga pendukung adat Karampuang meski bermukim agak jauh dari kawasan
adat.
Perangkat Adat Karampuang Saat Memukul Batu Gong |
Dengan
Batu Gong, perangkat-perangkat adat Karampuang mampu ter-koneksi atau
berhubungan dengan dunia luar atau ber-interaksi dengan masyarakat
lain saat pesta adat Mappogau Hanua digelar. Dengan Batu Gong,
masyarakat adat Karampuang memberi kesempatan masyarakat pendukung
tradisi ini menyaksikan kearifan lokal yang mereka lakukan selama
pesta adat Mappogau Hanua.
Dalam konteks kekinian, tentu lahir pertanyaan: masih-kah tradisi
dan kearifan lokal di kampung bernama Karampuang tetap terjaga ?.
Jawabannya: Ya. Mappogau Hanua atau pesta kampung yang dilaksanakan
sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah di
kampung Karampuang, adalah salah satu tradisi tahunan di Sulawesi
Selatan yang tetap konsisten dilaksanakan oleh masyarakat adat
Karampuang.
Sedikit-pun tidak terjadi pergeseran atau perubahan pada
tahapan-tahapan pelaksanaan pesta adatnya. Begitu pula 2 (dua) rumah
adat-nya yang masih berdiri kokoh hingga saat ini dan menjadi pusat
aktivitas perangkat serta tetua adat-nya. Yang mengalami perubahan
hanyalah pada media komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan
pesan pelaksanaan Mappogau Hanua.
Bila pada zaman dahulu Batu Gong menjadi satu-satunya alat bagi
perangkat adat untuk mengundang dan memberi informasi terkait
pelaksanaan pesta adat, maka di era digital saat ini, semua perangkat
teknologi informasi dan komunikasi dijadikan media penyampai atau
penyambung informasi. Misalnya saja penggunaan telepon seluler atau
handphone. Pemanfaatannya tentu saja bukan oleh tetua adat (yang
memang berpantang menggunakan teknologi). Namun oleh
generasi-generasi muda-nya yang merupakan keturunan dari pendukung
kebudayaan di Karampuang.
Generasi muda, keturunan dari pendukung adat Karampuang inilah yang
memanfaatkan perangkat-perangkat teknologi untuk berhubungan satu
sama lain. Bukan hanya handphone atau smartphone, media sosial pun
mereka gunakan untuk sekadar menyampaikan pesan kepada kerabat mereka
yang sudah ada di rantau bahwa pesta adat akan segera digelar. Wajar:
karena mereka hidup di zaman digital.
Mengundang
warga dengan batu gong, menyambut tamu dengan bebunyian gendang dan
tumbukan lesung atau Mappadekko,
mengolah
hasil panen untuk dinikmati seluruh warga kampung, hingga ritual ke
makam leluhur mereka di bukit Karampuang: adalah tahapan-tahapan dari
tradisi ini yang tetap terjaga dan tidak tergerus oleh zaman digital.
Mereka saling terhubung atau berinteraksi dengan cara yang sudah
men-tradisi. Generasi mereka yang hidup di zaman digital juga
menggunakan cara mereka sendiri: ala dunia digital. Semua saling
mendukung demi terawat dan lestari-nya kearifan lokal di Karampuang.
Kearifan Lokal Di Trans Studio Makassar
Menjaga dan merawat kearifan lokal masyarakat Sulawesi Selatan bukan
hanya melalui tradisi atau ritual adatnya yang dilaksanakan secara
konsisten. Namun bagaimana merawat kearifan lokal ini dengan
cara-cara yang sesuai dengan kondisi saat ini. Seperti handphone
untuk menyampaikan pesan dan informasi, maupun media sosial untuk
mempromosikan kekhasan budaya daerah.
Cara lain adalah memanfaatkan ruang-ruang publik dan hiburan yang
jamak kita temukan saat ini. Seperti di pusat-pusat perbelanjaan atau
Mall serta wahana bermain indoor maupun outdoor yang banyak terdapat
di kota-kota besar.
Saya ambil contoh di Trans Studio Mall dan Theme Park Makassar .
Sebagai salah satu kawasan dan wahana permainan terbesar di
Indonesia, tentu menjadi peluang yang harus dimanfaatkan guna
mengangkat serta mempromosikan potensi dan kearifan lokal daerah.
Trans
Studio Mall dan Theme Park Makassar saat ini bukan lagi sekadar Mall
dan wahana bermain. Namun telah menjelma menjadi lokasi atau tempat
dimana orang saling terhubung satu sama lain meski harus melewati
tantangan di wahana bernama The
Lost City,
saling berinteraksi satu sama lain di Magic
Corner, lucu-lucu-an
di Kids studio, atau
menjelajah bersama di Studio
Central.
Semua
bisa kita dapatkan di Trans Studio Mall dan Theme Park Makassar.
Wahana bermain, keceriaan bersama keluarga dan kerabat, hingga
bertemu dan bernostalgia dengan teman lama. Namun untuk merawat dan
menjaga kearifan lokal maupun tradisi lokal daerah, terbersit harapan
besar adanya wahana bermain di Trans Studio Mall dan Theme Park
Makassar bernama Bugis Room, Toraja Room, Mandar Room, Makassar Room,
yang isinya adalah wahana permainan tradisional seperti
Longga'-Longga'
atau Enggrang, Maggalaceng, Maccangke dan Allogo. Begitupula
permainan Ma'binta atau lompat karet, Mangngasing, serta Ma'baguli
atau main kelereng. Bahkan di kawasan bermain tersebut bisa
dimunculkan literatur berupa teks dan foto, yang isinya memuat
tradisi-tradisi budaya yang ada di Sulawesi Selatan. Bermain, belajar
dan melestarikan kearifan lokal Sulawesi Selatan di Trans Studio Mall
dan Theme Park Makassar: semoga. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan sarannya