Pada konstitusi liberal,
masyarakat bebas diartikan sebagai individu yang memiliki kebebasan,
menghargai hak azasi manusia, menjamin kepemilikian pribadi dan
mengontrol kekuasaan negara. Lebih jauh lagi, masyarakat bebas
memiliki akses yang bebas menuju berbagai pasar yang didasarkan pada
prinsip kompetisi.
Bila disederhanakan, maka
terdapat tiga tipe pasar utama: 1. Pasar Politik, 2. Pasar Sosial,
dan 3. Pasar ekonomi (Rainer Adam, 2000). Kalau dalam pasar ekonomi
ada transaksi barang dan jasa, dalam pasar sosial diperdagangkan
barang non ekonomis seperti persahabatan, kesetiaan, kepercayaan dan
sebagainya. Sementara dalam pasar politik hanya ada satu yang
diperdagangkan yakni kekuasaan.
Masyarakat yang pasar
politiknya didasarkan pada kompetisi yang jujur ada di alam bernama
demokrasi. indikatornya adalah lapangan yang menjadi tempat akses
masuk dan keluar ke pasar politik yang terbuka. Di lapangan itu
setiap warga negara memiliki kebebasan untuk berpartisipasi dalam
proses: memilih wakil mereka dan atau dipilih sebagai wakil rakyat.
Untuk memilih dan
dipilih, warga negara membutuhkan fasilitator dan katalisator untuk
mempercepat akses informasi yang mereka dan rakyat butuhkan. Salah
satunya adalah media atau pers. Fungsi media di alam demokrasi saat
ini sangatlah penting. Media melaporkan fakta, memberi informasi,
mendidik publik, menyampaikan dan membentuk opini. Media juga menjadi
alat untuk "mengontrol" pemerintah, polisi dan TNI, serta
semua pelaku politik maupun partai politik. Saat ini media menjadi
faktor sentral dalam membentuk opini publik. Sehingga wajar apabila
politisi seperti kontestan pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
baru-baru ini, Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta, menggelontorkan dana yang
cukup besar hanya untuk meraih simpati masyarakat melalui iklan
capres di media, (data alokasi iklan capres bisa dilihat di:
www.iklancapres.org).
Sumber foto : screenshot, www.iklancapres.org |
Hanya saja, perlu ada
regulasi yang mengatur besaran alokasi anggaran yang dikucurkan calon
Presiden dan wakil presiden maupun waktu penyiaran/penayangan
iklan-iklan tersebut di media cetak maupun elektronik. Regulasi
dibutuhkan dengan alasan, 1. Capres-Cawapres yang memiliki dana lebih
tentu akan tampil mendominasi halaman dan slot acara di media cetak
dan elektronik, 2. Capres-Cawapres yang memiliki dana lebih tentu
iklannya memiliki frekuensi tayang lebih banyak ketimbang calon lain
yang dananya terbatas, serta 3. Dominannya iklan Capres-Cawapres di
media cetak maupun elektronik akan memangkas halaman atau program
acara media yang seharusnya berisi tayangan berita dan informasi yang
dibutuhkan masyarakat.
Selain
alasan diatas, Iklan capres yang
marak dan nyaris mengisi seluruh halaman di media cetak maupun
program acara di televisi dan radio, memang harus dibatasi karena
kontennya kurang memberikan nilai mendidik untuk masyarakat. Ada
kecenderungan iklan-iklan tersebut terlalu menyederhanakan topik,
personalisasi dan emosional. Kecenderungan lain adalah, bahasa yang
digunakan bias, simbolis serta mengandung sedikit informasi. Padahal
Informasi yang beragam dan mendidik sangat dibutuhkan masyarakat
sebagai "penguasa" ranah publik.
Hans Juergen Beerfeltz
dalam bukunya, kasta yang terabaikan, mengatakan bahwa apapun sistem
politiknya dan sejauh mana peran medianya, yang harus dihindari
adalah kebiasaan yang tidak bermanfaat dalam sebuah negara demokrasi,
yaitu: rakyat mengeluh kinerja politisi, politisi mengeluh tentang
rakyat, keduanya mencaci media dan media mencaci semuanya. Kita tentu
berharap, di iklim demokratisasi saat ini semua berjalan saling
mendukung, terarah dan mengikuti rambu-rambu yang ada, termasuk
apabila nantinya regulasi yang mengatur alokasi anggaran iklan Capres
berhasil diwujudkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan sarannya