Kamis, 18 September 2014

Pasar Politik dan Peran Media


Pada konstitusi liberal, masyarakat bebas diartikan sebagai individu yang memiliki kebebasan, menghargai hak azasi manusia, menjamin kepemilikian pribadi dan mengontrol kekuasaan negara. Lebih jauh lagi, masyarakat bebas memiliki akses yang bebas menuju berbagai pasar yang didasarkan pada prinsip kompetisi.

Bila disederhanakan, maka terdapat tiga tipe pasar utama: 1. Pasar Politik, 2. Pasar Sosial, dan 3. Pasar ekonomi (Rainer Adam, 2000). Kalau dalam pasar ekonomi ada transaksi barang dan jasa, dalam pasar sosial diperdagangkan barang non ekonomis seperti persahabatan, kesetiaan, kepercayaan dan sebagainya. Sementara dalam pasar politik hanya ada satu yang diperdagangkan yakni kekuasaan.

Masyarakat yang pasar politiknya didasarkan pada kompetisi yang jujur ada di alam bernama demokrasi. indikatornya adalah lapangan yang menjadi tempat akses masuk dan keluar ke pasar politik yang terbuka. Di lapangan itu setiap warga negara memiliki kebebasan untuk berpartisipasi dalam proses: memilih wakil mereka dan atau dipilih sebagai wakil rakyat.

Untuk memilih dan dipilih, warga negara membutuhkan fasilitator dan katalisator untuk mempercepat akses informasi yang mereka dan rakyat butuhkan. Salah satunya adalah media atau pers. Fungsi media di alam demokrasi saat ini sangatlah penting. Media melaporkan fakta, memberi informasi, mendidik publik, menyampaikan dan membentuk opini. Media juga menjadi alat untuk "mengontrol" pemerintah, polisi dan TNI, serta semua pelaku politik maupun partai politik. Saat ini media menjadi faktor sentral dalam membentuk opini publik. Sehingga wajar apabila politisi seperti kontestan pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden baru-baru ini, Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta, menggelontorkan dana yang cukup besar hanya untuk meraih simpati masyarakat melalui iklan capres di media, (data alokasi iklan capres bisa dilihat di: www.iklancapres.org).

Sumber foto : screenshot, www.iklancapres.org
Hanya saja, perlu ada regulasi yang mengatur besaran alokasi anggaran yang dikucurkan calon Presiden dan wakil presiden maupun waktu penyiaran/penayangan iklan-iklan tersebut di media cetak maupun elektronik. Regulasi dibutuhkan dengan alasan, 1. Capres-Cawapres yang memiliki dana lebih tentu akan tampil mendominasi halaman dan slot acara di media cetak dan elektronik, 2. Capres-Cawapres yang memiliki dana lebih tentu iklannya memiliki frekuensi tayang lebih banyak ketimbang calon lain yang dananya terbatas, serta 3. Dominannya iklan Capres-Cawapres di media cetak maupun elektronik akan memangkas halaman atau program acara media yang seharusnya berisi tayangan berita dan informasi yang dibutuhkan masyarakat.

Selain alasan diatas, Iklan capres yang marak dan nyaris mengisi seluruh halaman di media cetak maupun program acara di televisi dan radio, memang harus dibatasi karena kontennya kurang memberikan nilai mendidik untuk masyarakat. Ada kecenderungan iklan-iklan tersebut terlalu menyederhanakan topik, personalisasi dan emosional. Kecenderungan lain adalah, bahasa yang digunakan bias, simbolis serta mengandung sedikit informasi. Padahal Informasi yang beragam dan mendidik sangat dibutuhkan masyarakat sebagai "penguasa" ranah publik.

Hans Juergen Beerfeltz dalam bukunya, kasta yang terabaikan, mengatakan bahwa apapun sistem politiknya dan sejauh mana peran medianya, yang harus dihindari adalah kebiasaan yang tidak bermanfaat dalam sebuah negara demokrasi, yaitu: rakyat mengeluh kinerja politisi, politisi mengeluh tentang rakyat, keduanya mencaci media dan media mencaci semuanya. Kita tentu berharap, di iklim demokratisasi saat ini semua berjalan saling mendukung, terarah dan mengikuti rambu-rambu yang ada, termasuk apabila nantinya regulasi yang mengatur alokasi anggaran iklan Capres berhasil diwujudkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan sarannya